BOOKING TIKET PESAWAT

Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal

Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Info sangat penting tentang Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Mengungkap fakta-fakta istimewa mengenai Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, banyak kalangan di Indonesia yang merasa perlu penerapan pelabelan Halal untuk produk makanan, obat-obatan, kosmetik, dan sejenisnya. Alasan yang mendasarinya adalah untuk memberikan rasa tenang bagi kaum muslim yang memang menjadi mayoritas di Indonesia. Seolah mengikuti sukses disahkannya Undang-Undang Anti Pornografi beberapa waktu lalu, kini giliran Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang masih bernuansa syariah rencananya akan segera dimintakan persetujuan.

Tapi rencana tersebut ternyata bukannya tanpa hambatan. Ada beberapa pihak yang menuding RUU JPH sebagai rancangan undang-undang yang tidak berwawasan kebangsaan dan diskriminatif. Ini dengan alas an karena RUU JPH lebih berpihak kepada kepentingan kalangan Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Disamping itu ada anggapan bahwa RRU JPH memiliki cacat hukum karena pada pembahasannya yang dilakukan oleh Komisi VIII DPR RI tidak melibatkan semua pihak secara maksimal alias lebih bersifat tertutup.

Sementara itu, jika RUU JPH ini berhasil disahkan, ada lagi satu kendala tentang siapa yang memberikan label Halal pada produk yang akan dipasarkan. MUI yang sudah melakukan fungsi ini selama berpuluh tahun menginginkan terus melakukannya berkaitan dengan RUU JPH tersebut. Bagaimana kelanjutannya?

Tak Halal Tanpa Label

Oleh : Rumadi (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Peneliti Senior the Wahid Institute)

Dalam fikih lama, ada ungkapan sangat terkenal: "Segala sesuatu pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang tegas mengharamkan." Segala jenis makanan pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkan. Tapi fikih Indonesia melalui Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) membalikkan adagium itu.

Makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetik pada dasarnya haram dikonsumsi kecuali yang ada label halalnya. Bukan hanya perusahaan besar yang harus mencantumkan label halal, melainkan juga pengusaha kecil. Warteg, rumah makan padang, penjual pecel, semuanya harus bersertifikat halal kalau makanannya tidak mau dikatakan haram.

Meski mengancam industri kecil-informal, RUU itu tidak mendapat pembahasan publik yang memuaskan. Berita di media lebih banyak diisi dengan desakan agar RUU JPH segera disahkan. Selama ini, sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur makanan halal, seperti UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintan Nomor 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Di samping itu, masih ada sejumlah surat keputusan (SK) bersama, keputusan menteri, piagam kerja sama, dan sebagainya yang mengatur tentang label halal.

Namun, karena sifatnya voluntary, tidak semua produsen makanan merasa punya kewajiban mencantumkan label halal. Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2005 menyebutkan, tidak lebih dari 2.000 produk yang minta pencantuman tanda halal. Sedangkan data Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan, sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih dari 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia.

Itulah sebabnya, RUU JPH mewajibkan pencantuman label halal bagi setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum yang menyelenggarakan kegiatan produksi, impor, penjualan, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan penyajian makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, produk rekayasa genetik, dan bahan pembantu lainnya yang dapat mempengaruhi kehalalan suatu produk (Pasal 1 RUU JPH).

Sebenarnya upaya untuk mendesak setiap produsen makanan mencantumkan label halal telah dilakukan dengan berbagai cara, seperti SK Menteri Agama (Menag) Nomor 518/2001 yang memerintahkan pengusaha memeriksakan produknya untuk diuji kehalalannya, baik makanan impor maupun ekspor. Di samping itu, ada SK Menag 519/2001 yang menunjuk LP POM MUI sebagai pelaksana uji seritifikasi dan Keputusam Menag Nomor 525/2001 yang menunjuk PT Peruri sebagai pencetak label halal yang akan ditempelkan pada tiap kemasan.

Namun SK Menag Nomor 518 dan 519 itu menimbulkan polemik dan keberatan di kalangan pengusaha karena dianggap menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Karena itu, DPR ketika itu menolak keinginan pemerintah (Depag RI) mengenai stikerisasi label halal karena dianggap memberatkan produsen dan ujung-ujungnya akan memberatkan konsumen.

Di beberapa negara maju, pemeriksaan kehalalan produk makanan juga dilakukan. Di Amerika Serikat, ada INFACA (Islamic Food and Nutrion Council of America), lembaga swasta yang bisa memeriksa kehalalan produk: makanan, kosmetik, daging murni, dan produk kemasan. Australia memiliki tidak kurang dari enam lembaga setifikasi halal, antara lain Australian Halal Authority. Australia memiliki standar penyembelihan untuk menjamin kehalalan daging ekspor ke Timur Tengah.

Namun semua lembaga sertifikasi itu adalah lembaga swasta yang tidak punya hak memaksa. Asasnya tetap sukarela. Pengusaha yang produknya ingin diterima kaum muslim, baik di dalam maupun di luar negari, punya kebutuhan memastikan kehalalan produknya. Hal ini normal dalam hukum ekonomi. Tanpa dipaksa dan diancam pidana.

Dengan demikian, RUU JPH tidak perlu memaksakan diri mewajibkan semua produsen mencantumkan label halal, asal pengusaha jujur atas bahan dan proses produksinya. Kalau tidak jujur, sudah ada UU Nomor 8 /1999 tentang Perlindungan Konsumen yang siap menjerat.

Dalam pembahasan RUU JPH, terjadi tarik-menarik antara Depag dan MUI. Selama ini, dengan mandat yang diberikan Depag, melalui LP POM, MUI menjadi satu-satunya lembaga yang paling otoritatif mengeluarkan setifikat halal. MUI ingin RUU JPH mengukuhkan MUI sebagai otoritas tunggal. Tapi pemerintah berkehendak lain. Melalui Depag, otoritas MUI dipangkas hanya menjadi lembaga fatwa halal, sedangkan sertifikat halal dikeluarkan Depag. Itulah sebabnya, MUI tidak lagi bersemangat mendorong pengesahan RUU JPH.

Saya berpendapat, tidak Depag dan tidak MUI, tapi sebuah badan independen yang khusus mengurusi sertifikasi halal. Bisa juga meningkatkan kapasitas BPOM dengan menambahkan komisi fatwa di dalamnya yang diambil dari masyarakat. Depag tidak punya kapasitas birokrasi untuk menangani hal ini. Sedangkan menyerahkan urusan itu kepada MUI menjadikannya terlalu istimewa. Hal yang harus dipastikan, labelisasi halal jangan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tidak menggerus pedagang kecil serta tetap bersifat sukarela.


BOOKING TIKET PESAWAT
Powered By : Blogger